Beberapa hari terakhir lambang Garuda Pancasila tanpa alasan yang jelas, tanpa permisi, tiba-tiba nongol di helaian kaos produksi rumah mode terkenal, Georgio Armani. Seperti biasa, orang Indonesia pun langsung ribut, heboh, protes, dan kebakaran jenggot karena kembali merasa kecolongan.
Ternyata bukan cuma negeri jiran Malaysia yang suka nyolong aneka hak kekayaan Indonesia. Rumah mode kondang sekelas Georgio Armani ternyata juga kepincut dengan hak kekayaan Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, lambang negara yang selalu diagung-agungkan setengah disakralkan, nekad dicomotnya.
Dengan sedikit kreatifitas seni grafis dan mode, lambang Garuda Pancasila yang telah mengalami modifikasi kemudian dicetak pada lembaran kaos berlabel Armani Exchange. Maka jadilah kini, tidak lagi sekadar “Garuda Di Dadaku” tetapi Garuda sudah sampai di perutku. Karena gambar ‘Garuda Pancasila’ itu sedemikan besarnya, tidak di dada saja, tetapi memang sampai ke daerah perut.
Tetapi, seorang teman yang saya kenal di Yahoo Messenger, malah tenang-tenang saja. Bagi dia, penggunaan gambar lambang negara pada pakaian adalah hal yang lumrah. Apalagi di negara-negara barat. “Di Amrik (Amerika Serikat, maksudnya) aja motif bendera bisa dibuat bra dan bikini,” tulisnya enteng.
Menurutnya, pihak Armani memang tidak ada bermaksud melecehkan bangsa Indonesia. Dia hanya menjadikan Garuda Pancasila sebagai gagasan untuk produksi rumah modenya. Tentu saja dengan harapan, kaos oblongnya itu laris terjual.
Cuma tentu belum jelas benar, kaos produksinya itu laris manis karena mereknya yang terkenal dan bergengsi, atau karena gambar ‘Garuda Pancasila’-nya yang bagus dan menarik perhatian para pembeli.
Dengan nada setengah bercanda, teman saya berpendapat, justru bila kaos bergambar ‘Garuda Pancasila’ itu beredar ke segala pelosok dunia, maka itu menjadi promosi gratis bagi negara Indonesia.
Tentu promosi gratis itu akan lebih afdol bila pada setiap kaosnya Giorgio Armani menyertakan label kecil yang menjelaskan bahwa, inspirasi dari gambar pada kaos itu datang dari lambang negara Indonesia yang diberi nama Garuda Pancasila.
Pendapat teman saya itu ada benarnya, meski memang nyeleneh. Meski tidak ada hubungannya dengan promosi Indonesia di dunia, kasus kaos Armani Exchange bergambar ‘Garuda Pancasila’ memberikan pelajaran penting tentang pemahaman dan pengenalan atribut-atribut negara.
Selama ini yang selalu sering dibicarakan sebagai atribut negara hanyalah gambar-gambar atau foto presiden dan wakil presiden. Sering terjadi, pemerintah atau kalangan lingkaran dalam istana selalu ribut bila ada kelompok demonstran membakar, menginjak-injak atau merobek-robek gambar atau foto presiden atau wakil presiden.
Bisa dipastikan demonstran yang nekad membakar, menginjak-injak atau merobek-robek gambar atau foto presiden dan atau wakil presiden langsung ditangkap aparat keamanan. Sang demonstran itu akan dengan mudah dikenakan tuduhan melakukan penghinaan para presiden dan atau wakil presiden, atau melecehkan atribut-atribut negara.
Tetapi ketika lambang negara Garuda Pancasila dicomot oleh Giorgio Armani dan dimodifikasi seenak perut dia, pemerintah tampak cuek saja. Padahal sudah jelas Garuda Pancasila, seperti halnya Sang Saka Merah Putih, adalah juga atribut negara.
Beruntung rumah mode Armani cukup tahu diri, dan segera menarik katalog produk terbarunya serta tidak mendistribusikan kaos bergambar ‘Garuda Pancasila’ itu di Indonesia.
Toh inti permasalahannya bukan dengan sendirinya selesai begitu saja. Karena masalahnya adalah kurangnya penghargaan serta kepedulian terhadap Garuda Pancasila sebagai lambang negara.
Lambang Garuda Pancasila seolah telah menjadi kewajiban rutin untuk hadir di setiap ruang kelas pada semua sekolah dan perguruan tinggi, loby kantor, ruang kerja pejabat, ruang rapat/pertemuan, atau di setiap balai desa/kelurahan. Tetapi kehadiran gambar Garuda Pancasila dalam bingkai berkaca itu, seolah hanya sekadar memenuhi aturan.
Gambar Garuda Pancasila nangkring menempel di dinding seolah tanpa jiwa, tanpa makna, dan karenanya tidak mendapatkan. Tak ada yang peduli bila gambar Garuda Pancasila itu berdebu atau telah pudar warnanya.
Yang lebih sering mendapatkan perhatian justru gambar foto presiden dan wakil presiden. Itu pun hanya lima tahun sekali, saat ada pergantian presiden dan wakil presiden. Bisa jadi, kurangnya penghargaan dan kepedulian itu karena persoalan lambang negara ini tidak langsung menyentuh persoalan perut dari setiap warga negara.
Mungkin saja, sudah saatnya membumikan konsepsi Garuda Pancasila agar dapat lebih menyentuh urusan perut setiap warga negara. Atau, apakah lambang negara perlu berganti tiap lima tahun, agar bisa mendapatkan kepedulian dari warga negaranya?
(28/1) sumber : news-complete